Mungkin Sebagian Member Paid To Click, Pernah berangapan , mau buat Web
PTC untuk menambah Masukan Kantong kita, Ingat bahwa untuk membuat PTC ,
harus mempunyai Hosting yang Handal, nah kali ini,
Sugeng-wijaya.blogspot.com , akan membagi Hosting-hosting buat PTC anda.
Saturday, February 23, 2013
Thursday, February 21, 2013
Hosting Gratis
Kali Ini Sugeng-wijaya.blogspot.com , memberikan Hosting yang gratisan dan berkualitas , yang sudah Suport fasilitas yang Super Oke
Fasilitas Yang Sudah di lengkapi dalam Hosting Gratisan Ini
5500 MB disk space
200 Gb monthly bandwidth
50 addon domains
50 parked domains
50 subdomains
50 My SQL database
PhpAdmin
FTP account
Unlimited POP email accounts
Webmail
PHP sendmail enable
Custom MX Records
Fantastico type installer (iVista)
Free Hosting tidak bisa untuk .
Hacking
Fhising
Paid To Clik
dll
Yang Mau Mencoba nya Silahkan Klik Disini
Saturday, February 16, 2013
Cara Ukur SEO blog
Mungkin banyak yang mau lihat seberapa SEO kah , blog pribadi kita di mata Mbh Google , Nah cara ukur nya bisa masuk ke alamat INI.
http://chkme.com/page-seo-tools
http://chkme.com/page-seo-tools
Semoga Bisa bermanfaat dan Semoga Bisa SEO blognya
Friday, February 15, 2013
SEO
Selamat Siang Semua Nya , Sugeng-wijaya.blogspot.com , memberikan TIPS untuk gimana Blog Kita Supaya Di sukai Oleh Google.com yang terkenal itu, Semoga Postingan Ini Bisa bermanfaat.
Nah, agar google tidak mengindeks url yang kedua (ShowComment) maka beritahukan kepada robot mesin pencari supaya hanya mengindeks url yang pertamanya saja agar tidak terjadi duplicate content. Caranya dengan memasang kode canonical berikut:
Letakan dibawah meta tag tadi.
1. Gunakan Heading H1 untuk Judul Artikel/Post.
Posisi
teratas di google diindeks berdasarkan penggunaan judul posting yang
tepat, diskriptip dan struktur heading h1,h12,h2....dts. hal ini
memudahkan google bot melakukan crawling, google bot memulai crawling
& Indexing mulai dari bagian paling penting yaitu H1 kemudian H2 dan
seterusnya. Sehingga Penggunaan H1 untuk Judul Artikel/Post sangat
bermanfaat untuk menjadikan blog sobat blogger nomor 1 di google. Untuk
cara merubahnya baca di Cara Merubah Heading judul Postingan Menjadi Tag
H1 (Postingan Selanjutnya)
2. Memanfaatkan Meta Tag untuk Optimasi Judul Blog
Cara ini
bisa sangat berguna untuk optimasi Seo karena default judul blogspot
kurang seo friendly. Agar menjadi Seo Friendly Tambahkan meta tag
berikut ini dibawah meta tag yang sudah ada atau letakkan diatas kode
<b:skin>
<meta content='1 day' name='revisit-after'/>
<meta content='all' name='audience'/>
<meta content='global' name='distribution'/>
<meta content='text/html; charset=UTF-8' http-equiv='Content-Type'/>
<meta content='true' name='MSSmartTagsPreventParsing'/>
<meta content='blogger' name='generator'/>
<meta content='general' name='rating'/>
<meta content=' global' name='target'/>
<meta content='index, follow, snipet' name='googlebot'/>
<meta content='follow, all' name='Googlebot-Image'/>
<meta content='follow, all' name='Scooter'/>
<meta content='follow, all' name='msnbot'/>
<meta content='follow, all' name='alexabot'/>
<meta content='follow, all' name='Slurp'/>
<meta content='follow, all' name='ZyBorg'/>
<meta content='follow, all' name='Scooter'/>
<meta content='ALL' name='SPIDERS'/>
<meta content='ALL' name='WEBCRAWLERS'/>
3. Gunakan Canonical
Canonical sangat penting untuk
memberitahukan url mana yang di prioritaskan untuk di index oleh google
ketika robot google menemukan adanya duplicate title dan description
pada url yang sebenarnya sama tetapi berbeda. Contohnya adalah url utama
artikel dan url showComment, perhatikan dua url berikut yang sebenarnya
sama tetapi berbeda:
http://sugeng-wijaya.blogspot.com/2013/2/SEO-blog.html
http://sugeng-wijaya.blogspot.com/2013/2/SEO-blog.html?ShowComment=87585323616
Nah, agar google tidak mengindeks url yang kedua (ShowComment) maka beritahukan kepada robot mesin pencari supaya hanya mengindeks url yang pertamanya saja agar tidak terjadi duplicate content. Caranya dengan memasang kode canonical berikut:
<link expr:href='data:blog.url' rel='canonical'/>
Letakan dibawah meta tag tadi.
4. Membuat Breadcrumb Navigation
Breadcrumb navigation akan
membantu robot crawler dalam menemukan lokasi keberadaan file/artikel
pada kategori tertentu yang ada di blog sobat blogger.
5. Nofollow kan Blog Archieve
Gunakan tag nofollow pada archieve blog untuk menghindari terjadinya duplicate content.Thursday, February 14, 2013
UU NOMOR 41 TAHUN 1999 tentang Kehutanan
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
KEHUTANAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan
Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan
yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia,
karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta
dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi
sekarang maupun generasi mendatang;
b.
bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber
kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya
harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan
diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta
bertanggung-gugat;
c.
bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus
menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya, serta
tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
d.
bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan
prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan,
sehingga perlu diganti;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d
perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
Dengan
Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
KEHUTANAN
BAB
I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Bagian
Kesatu
Pengertian
Pengertian
Pasal
1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud
dengan:
- Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
- Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
- Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
- Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
- Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
- Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
- Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
- Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
- Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
- Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
- Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
- Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
- Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
- Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
- Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Bagian
Kedua
Asas dan Tujuan
Asas dan Tujuan
Pasal
2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan
manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan
keterpaduan.
Pasal
3
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a.
menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
b.
mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya,
dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c.
meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d.
meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat
secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu
menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat
perubahan eksternal; dan
e.
menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Bagian
Ketiga
Penguasaan Hutan
Penguasaan Hutan
Pasal
4
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.
menetapkan
status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan
kawasan hutan; dan
c.
mengatur
dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta
mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
BAB
II
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal
5
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri
dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih
ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan
hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal
6
(1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi konservasi,
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi.
a. fungsi konservasi,
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi.
(2) Pemerintah menetapkan hutan
berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.
Pasal
7
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari :
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam, dan
c. taman buru.
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam, dan
c. taman buru.
Pasal
8
(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan
hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan
khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum
seperti:
a. penelitian dan pengembangan,
b. pendidikan dan latihan, dan
c. religi dan budaya.
a. penelitian dan pengembangan,
b. pendidikan dan latihan, dan
c. religi dan budaya.
(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal
9
(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim
mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu
sebagai hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
III
PENGURUSAN HUTAN
PENGURUSAN HUTAN
Pasal
10
(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan:
a. perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan hutan,
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
d. pengawasan.
a. perencanaan kehutanan,
b. pengelolaan hutan,
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
d. pengawasan.
BAB
IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian
Kesatu
Umum
Umum
Pasal
11
(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan
untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan
secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta
memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal
12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. inventarisasi hutan,
b. pengukuhan kawasan hutan,
c. penatagunaan kawasan hutan,
d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
e. penyusunan rencana kehutanan.
a. inventarisasi hutan,
b. pengukuhan kawasan hutan,
c. penatagunaan kawasan hutan,
d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
e. penyusunan rencana kehutanan.
Bagian
Kedua
Inventarisasi Hutan
Inventarisasi Hutan
Pasal
13
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk
mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi
kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan,
flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam
dan di sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. inventarisasi hutan tingkat wilayah,
c. inventarisasi hutan tingkat daerah alian sungai, dan
d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
a. inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. inventarisasi hutan tingkat wilayah,
c. inventarisasi hutan tingkat daerah alian sungai, dan
d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai
dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan
rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan
Pengukuhan Kawasan Hutan
Pasal
14
(1) Berdasarkan inventarisasi hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan
kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum
atas kawasan hutan.
Pasal
15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang
wilayah.
Bagian
Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan
Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal
16
(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, pemerintah
menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi
kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal
17
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan
untuk tingkat:
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik
lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan
batas administrasi pemerintahan.
(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan
yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik
serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.
Pasal
18
(1) Pemerintah menetapkan dan
mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap
daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh
persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional.
Pasal
19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil
penelitian terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas
serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan
peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keenam
Penyusunan Rencana Kehutanan
Penyusunan Rencana Kehutanan
Pasal
20
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana
kehutanan.
(2) Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan
menurut fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
V
PENGELOLAAN HUTAN
PENGELOLAAN HUTAN
Bagian
Kesatu
Umum
Umum
Pasal
21
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Bagian
Kedua
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal
22
(1) Tata hutan dilaksanakan dalam rangka
pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang
lebih optimal dan lestari.
(2) Tata hutan meliputi pembagian kawasan
hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana
pemanfaatan hutan.
(3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi
pengelolaan.
(4) Berdasarkan blok dan petak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk
jangka waktu tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal
23
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya.
Pasal
24
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan
pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona
rimba pada taman nasional.
Pasal
25
Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam
dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan
melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal
27
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
a. perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
a. perorangan,
b. koperasi.
Pasal
28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat
berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan
izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal
29
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
a. perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. peraorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
a. peraorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
a. perorangan,
b. koperasi.
Pasal
30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan
bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
Pasal
31
(1) Untuk menjamin asas keadilan,
pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan
mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
32
Pemegang izin sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan
hutan tempat usahanya.
Pasal
33
(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil
hutan.
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan
secara lestari.
(3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan
pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal
34
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:
a. masyarakat hukum adat
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
d. lembaga sosial dan keagamaan.
a. masyarakat hukum adat
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
d. lembaga sosial dan keagamaan.
Pasal
35
(1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin
usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana
investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
36
(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi
lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal
37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi
lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal
38
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di
dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan
hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh
Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang
melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas
serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Pasal
39
Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal
29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pasal
40
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan
untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga.
Pasal
41
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan
diselenggarakan melalui kegiatan:
a. reboisasi,
b. penghijauan,
c. pemeliharaan,
d. pengayaan tanaman, atau
e. penerapan teknis konservasi tanah secara vegetatitf dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
a. reboisasi,
b. penghijauan,
c. pemeliharaan,
d. pengayaan tanaman, atau
e. penerapan teknis konservasi tanah secara vegetatitf dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
(2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar
alam dan zona inti taman nasional.
Pasal
42
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan
dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik.
(2) Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan
lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka
mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
43
(1) Setiap orang yang memiliki, mengelola,
dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib
melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi.
(2) Dalam pelaksanaan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat meminta pendampingan,
pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau
pemerintah.
Pasal
44
(1) Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukannya.
(2) Kegiatan reklamasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi,
perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
45
(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib
dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan
pemerintah.
(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas
areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai
dengan tahapan kegiatan pertambangan.
(3) Pihak-pihak yang menggunakan kawasan
hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan
permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan
rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal
46
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan
konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar
fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal
dan lestari.
Pasal
47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan
merupakan usaha untuk:
a.
mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama,
serta penyakit; dan
b.
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas
hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan
dengan pengelolaan hutan.
Pasal
48
(1) Pemerintah mengatur perlindungan
hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
(2) Perlindungan hutan pada hutan negara
dilaksanakan oleh pemerintah.
(3) Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang
menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.
(4) Perlindungan hutan pada hutan hak
dilakukan oleh pemegang haknya.
(5) Untuk menjamin pelaksanaan
perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya
perlindungan hutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab
atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Pasal
50
(1) Setiap orang dilarang merusak
prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
- mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
- merambah kawasan hutan;
- melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. - membakar hutan;
- menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
- menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
- melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
- mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
- menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
- membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
- membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
- membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
- mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan,
membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
51
(1) Untuk menjamin terselenggaranya
perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat
pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.
(2) Pejabat yang diberi wewenang
kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a.
mengadakan
patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b.
memeriksa
surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di
dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c.
menerima
laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;
d.
mencari
keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
e.
dalam
hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang
berwenang; dan
f.
membuat
laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
BAB
VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
Bagian
Kesatu
Umum
Umum
Pasal
52
(1) Dalam pengurusan hutan secara lestari,
diperlukan sumber daya manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan.
(2) Dalam penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib
memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta
kondisi sosial budaya masyarakat.
(3) Dalam penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah
wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.
Bagian
Kedua
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pasal
53
(1) Penelitian dan pengembangan kehutanan
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan.
(2) Penelitian dan pengembangan kehutanan
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan
pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
(3) Penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan kehutanan dilakukan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan
perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan
kondisi yang mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan,
dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.
Pasal
54
(1) Pemerintah bersama-sama dengan dunia
usaha dan masyarakat mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan
kehutanan serta mengembangkan sistem informasi dan pelayanan hasil penelitian
dan pengembangan kehutanan.
(2) Pemerintah wajib melindungi hasil
penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Izin melakukan penelitian kehutanan di
Indonesia dapat diberikan kepada peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian
Ketiga
Pendidikan dan Latihan Kehutanan
Pendidikan dan Latihan Kehutanan
Pasal
55
(1) Pendidikan dan latihan kehutanan
dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
kehutanan yang terampil, profesional, berdedikasi, jujur serta amanah dan
berakhlak mulia.
(2) Pendidikan dan latihan kehutanan
bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang menguasai serta mampu
memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan
hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan
kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan
kondisi yang mendukung terselengaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam
rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.
Bagian
Keempat
Penyuluhan Kehutanan
Penyuluhan Kehutanan
Pasal
56
(1) Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku
masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman
dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya
hutan bagi kehidupan manusia.
(2) Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan
dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
(3) Pemerintah mendorong dan menciptakan
kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.
Bagian
Kelima
Pendanaan dan Prasarana
Pendanaan dan Prasarana
Pasal
57
(1) Dunia usaha dalam bidang kehutanan
wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
(2) Pemerintah menyediakan kawasan hutan
untuk digunakan dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
Pasal
58
Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian
dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VII
PENGAWASAN
PENGAWASAN
Pasal
59
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk
mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga
tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik
bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.
Pasal
60
(1) Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.
(2) Masyarakat dan atau
perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan.
Pasal
61
Pemerintah berkewajiban melakukan
pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah.
Pasal
62
Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan
yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Pasal
63
Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah
berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan
atas pelaksanaan pengurusan hutan.
Pasal
64
Pemerintah dan masyarakat melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan
internasional.
Pasal
65
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan
kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VIII
PENYERAHAN KEWENANGAN
PENYERAHAN KEWENANGAN
Pasal
66
(1) Dalam rangka penyelenggaraan
kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan
efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
IX
MASYARAKAT HUKUM ADAT
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal
67
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a.
melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat
adat yang bersangkutan;
b.
melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan
c.
mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya
masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
X
PERANSERTA MASYARAKAT
PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal
68
(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas
lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), masyarakat dapat:
a.
memanfaatkan
hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
mengetahui
rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
c.
memberi
informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
d.
melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun
tidak langsung.
(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan
sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Setiap orang berhak memperoleh
kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya
penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal
69
(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut
serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan,
masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga
swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.
Pasal
70
(1) Masyarakat turut berperan serta dalam
pembangunan di bidang kehutanan.
(2) Pemerintah wajib mendorong peran serta
masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan
berhasil guna.
(3) Dalam rangka meningkatkan peran serta
masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati
kehutanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
XI
GUGATAN PERWAKILAN
GUGATAN PERWAKILAN
Pasal
71
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap
kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
72
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita
akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi
pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak
untuk kepentingan masyarakat.
Pasal
73
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung
jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan
perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
(2) Organisasi bidang kehutanan yang
berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a.
berbentuk
badan hukum;
b.
organisasi
tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya
organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
c.
telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
BAB
XII
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
Pasal
74
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui
pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak
yang bersengketa.
Pasal
75
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan di
luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
(2) Penyelesaian sengketa kehutanan di
luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian
suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang
harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.
(3) Dalam penyelesaian sengketa kehutanan
di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa
pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan
organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.
Pasal
76
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan
melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian
suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan
oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
(2) Selain putusan untuk melakukan
tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan
tertentu tersebut setiap hari.
BAB
XIII
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal
77
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:
a.
melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.
melakukan
pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
c.
memeriksa
tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
d.
melakukan
penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e.
meminta
keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
f.
menangkap
dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
g.
membuat
dan menanda-tangani berita acara;
h.
menghentikan
penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB
XIV
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal
78
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2),
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau
huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3)
huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat
(10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama
badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai
dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana
yang dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan
pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk
melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dirampas untuk Negara.
Pasal
79
(1) Kekayaan negara berupa hasil hutan dan
barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.
(2) Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam
upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB
XV
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal
80
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang
diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan
itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang
ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau
tindakan lain yang diperlukan.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini,
apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
XVI
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
81
Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang
ini.
Pasal
82
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.
BAB
XVII
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
83
Pada saat mulai berlakunya undang-undang
ini maka dinyatakan tidak berlaku:
1.
Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221,
sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir
diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;
2.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).
Pasal
84
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta,
Pada tanggal 30 September 1999
Pada tanggal 30 September 1999
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 1999
Pada tanggal 30 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
M U L A D I
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
M U L A D I
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 167
TAHUN 1999 NOMOR 167
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
SEKRETARIAT KABINET RI